HUBUNGAN POLA MAKAN, TINGGI BADAN IBU DAN RIWAYAT PENYAKIT INFEKSI DENGAN STATUS STUNTING PADA BALITA USIA 6-59 BULAN DI WILAYAH PESISIR DESA MANURU KABUPATEN BUTON

Nur Rosianti1, Sunarsih2, La Banudi3

12, Program Magister Kesehatan Masayarakat, Universitas Mandala Waluya Kendari

3 Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Kendari

Abstrak

Salah satu masalah gizi masyarakat yang terus meningkat di Indonesia yakni tentang Stunting bawah lima tahun. Stunting terjadi sebagai akibat gizi kurang terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan. Umur balita termasuk umur dimana proses tumbuh kembang terjadi dengan pesat. Pada periode ini butuh asupan zat gizi adekuat termasuk kuantitas dan kualitas, hal ini disebabkan oleh aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih terjadi perubahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Pola Makan, Tinggi Badan Ibu dan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Status Stunting pada Balita Usia 6-59 Bulan di Wilayah Pesisir desa Manuru Kabupaten Buton.

Jenis penelitian ini adalah Analitik Observasional dengan desain cross sectional study. Populasi dari penelitian ini adalah Balita usia 6-59 bulan yang mengalami Stunting (pendek dan sangat pendek) di Desa Manuru sebagai salah satu desa lokus Stunting yaitu sebesar 89 balita.Teknik Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simple random sampling. Besar sampel sebesar 73 Balita. Analisis data dilakukan dalam dua tahap yaitu analisis deskriftif dan analisis inferensial. menggunakan bantuan aplikasi statistik. Untuk mengetahui hubungan variabel independen satu persatu digunakan uji chi square dengan rumus chi square.

Hasil Penelitian: Ada hubungan pola makan dengan Status Stunting pada Balita usia 6-59 bulan di Kabupaten Buton pv=0,000 dan C=0,607). Ada hubungan tinggi badan Ibu dengan Status Stunting pada Balita usia 6-59 bulan di Kabupaten Buton pv=0,000 dan C=0,607. Ada hubungan riwayat penyakit infeksi dengan Status Stunting pada Balita usia 6-59 bulan di Kabupaten Buton pv=0,000 dan C=0,707. Saran penelitian ini adalah perlunya pemberian imunisasi lengkap bagi Balita guna mencegah penularan penyakit. Perlunya keaktifan kader dan petugas gizi di Puskesmas dalam memberikan konseling gizi bagi orangtua. Perlunya peran serta seluruh elemen masyarakat dan lembaga pemerintah dalam penanganan dan pencegahan stunting.

Kata Kunci: Stunting, Tinggi badan ibu, Pola Makan, Penyakit Infeksi

Latar Belakang.

Masalah gizi muncul merupakan hal yang amat penting untuk diketahui pada proses siklus hidup manusia atau daur kehidupan. Masalah gizi muncul akan berakibat pada terbentuknya Sumber Daya Manusia (SDM), di Indonesia masih menjadi masalah serius. Masalah gizi kurang yang masih tinggi di Indonesia adalah masalah Stunting pada Balita. Stunting muncul sebagai akibat kurang gizi pada umur 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) Setiawan, Machmud, & Masrul, 2018(). Umur dua tahun pertama seorang anak adalah umur yang sangat peka terhadap lingkungan, dan suasana ini berlangsung sangat singkat, serta tidak berulang lagi. Pada umur inilah biasa disebut sebagai masa kritis buat anak dalam menjalani hidup Banudi, 2019()

Pada usia balita merupakan usia yang paling rentan karena terjadi tumbuh kembang yang pesat. Pada umur inilah butuh asupan gizi yang adekuat pada jumlah dan kualitas, hal ini terjadi oleh karena aktivitas fisik yang tinggi dan masih terjadi perubahan setiap masa pertumbuhan. Apabila asupan gizi tidak tersedia maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas akan bermasalah dan pada akhirnya berdampak terjadi generasi yang hilang (lost generation) Banudi, Koro, Anasiru, & Nurmiaty, 2021().

Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, balita yang mengalami stunting sebanyak 30,8%, terjadi penurunan dibandingkan dengan hasil data Riset kesehatan dasar tahun 2013 sebanyak 37,2%. (Litbangkes, 2018). Sedangkan Hasil Pemantauan Status Gizi yang telah dilaksanakan di 17 Kabupaten atau Kota di Provinsi Sultra selama 3 tahun berturut-turut menunjukkan persentase Balita stunting pada tahun 2015 sebanyak 31,4%, tahun 2016 sebanyak 20,6% dan tahun 2017 sebanyak 36,4% Supariasa, Fajar, & Bakri, 2001().

Penanganan masalah stunting telah dilakukan beberapa intervensi atau perbaikan yang dibagi menjadi beberapa intervensi utama: intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Sasaran intervensi gizi spesifik adalah ibu hamil, intervensi gizi spesifik dengan beberapa sasaran yakni ibus meneteki dan bayi umur 0 – 6 bulan, dan intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu meneteki dan anak umur 7 - 23 bulan. Sedangkan intervensi gizi sensitif berjalan melalui berbagai kegiatan pembangunan selain sektor kesehatan dan berkontribusinya 70% perbaikan Stunting Nadiyah, Briawan, & Martianto, 2014().

Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara menguraikan bahwa Kabupaten Buton termasuk salah satu Kabupaten dengan kasus stunting cukup tinggi jika dibandingkan dengan Kabupaten atau Kota lainnya di Sultra, prevalensi Stunting tahun 2017 berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi yakni ditemukan balita dengan kondisi Stunting sebanyak 38,3% (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2019).

Kabupaten Buton sebagai salah satu daerah lokus Stunting di Provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat sepuluh desa lokus Stunting yang telah ditetapkan di Kabupaten Buton, di antaranya yaitu Desa Sampuabalo, Desa Manuru, Desa Kumbewaha, Desa Laburunci, Desa Talaga Baru, Desa Labuandiri, Desa Kabawokole, Desa Todanga, Desa Bukit Asri dan Desa Siantopina. Pemilihan 10 lokasi lokus ini ditentukan oleh Bappenas berdasarkan kasus stunting paling tinggi yang menjadi keterwakilan setiap Provinsi. Hasil pengukuran TB/U di 10 desa lokus stunting tersebut memiliki rata-rata angka stunting berkisar 33,7% pada tahun 2018. Dinas Kesehatan Kabupaten Buton, 2019).

Pada tingkat rumah tangga, kondisi gizi dipengaruhi oleh kemampuan kepala keluarga menyediakan bahan makanan dalam jumlah dan jenis yang adekuat, perilaku asuhan gizi pada ibu dan anak sangat dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan, serta keadaan kesehatan anggota rumah tangga. Tingkat pendidikan Ibu di Kabupaten Buton yang rendah sehingga banyak ditemukan pernikahan dini yang berakibat terputusnya masa sekolah Mentari & Hermansyah, 2019().

Orang tua yang pendek akan membawa gen kromosom yang pendek akan akan menurunkan sifat pendek pada anaknya. Tinggi badan bapak dan ibu berhubungan erat dengan pertumbuhan fisik anak yang dilahirkan. Kondisi ibu yang pendek menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan masalah stunting. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui Hubungan Pola Makan, Tinggi Badan Ibu dan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Status Stunting pada Balita Usia 6-59 Bulan di Wilayah Pesisir Desa Manuru Kabupaten Buton

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Pola Makan, Tinggi Badan Ibu Dan Riwayat Penyakit Infeksi Dengan Status Stunting pada Balita Usia 6-59 Bulan di Wilayah Pesisir desa Manuru Kabupaten Buton.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di Desa Manuru Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara pada bulan Juli sampai Agustus tahun 2019. Populasi dari penelitian ini adalah Balita usia 6-59 bulan yang mengalami Stunting (pendek dan sangat pendek) di Desa Manuru sebagai salah satu desa lokus Stunting yaitu sebesar 89 balita.Teknik Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simple random sampling. Besar sampel sebesar 73 Balita. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data: Data primer Merupakan data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, dalam hal ini terdiri atas : Data identitas responden meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pengeluaran pangan, panjang lahir Balita, sumber air minum dan riwayat penyakit infeksi diperoleh dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner. tinggi badan Ibu diperoleh dengan melakukan pengukuran tinggi badan. Data pola makan diperoleh dengan cara melakukan formulir Food frequency. Analisis data dilakukan dalam dua tahap yaitu analisis deskriftif dan analisis inferensial. Analisis ini dilakukan menggunakan aplikasi statistik yakni menggunakan uji chi square.

HASIL PENELITIAN

  1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara harfiah kata geografi terdiri dari dua kata yaitu “geo” yakni bumi dan “grafi” yakni gambaran, bemberikan arti bahwa geografi adalah gambaran muka bumi suatu wilayah. Sehingga dijelaskan gambaran muka bumi Kabupaten Buton baik dari segi luas daerah, batas wilayah dan keadaan iklim. Kabupaten Buton memiliki wilayah daratan seluas ± 21.054 km². Secara administrasi pemerintah daerah kabupaten Buton sampai akhir tahun 2018 terdiri atas kecamatan sebanyak 7 dan 95 desa atau kelurahan dengan uraian, 12 kelurahan dan 83 desa.

Kecamatan Pasarwajo merupakan Kecamatan dengan luas wilayah sebesar 356,4 km². Kecamatan Pasarwajo termasuk kecamatan terluas dan Kecamatan Lasalimu dengan luas wilayah sebesar 327,3 km² atau dapat dikatakan bahwa luas wilayah kecamatan Pasarwajo sebesar 30,2% dan Kecamatan Lasalimu sebesar 27,7% dari total luas wilayah Kabupaten Buton. Kecamatan dengan luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Wolowa dengan luas 51,6 km² atau hanya 4,4% dari luas wilayah Kabupaten Buton.

Kabupaten Buton terdapat 2 musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim Kemarau terjadi selama Bulan Mei dan Oktober, dimana angin Timur yang bertiup dari Australia tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya Musim Hujan terjadi selama Bulan November dan Maret, dimana angin Barat yang bertiup dari Benua Asia dan Samudera Pasifik banyak mengandung uap air sehingga terjadi musim hujan. Khusus pada Bulan April arah angin tidak menentu, demikian pula curah hujan sehingga pada bulan ini dikenal sebagai musim pancaroba. Curah hujan dipengaruhi oleh perbedaan iklim, orografi dan perputaran atau/pertemuan arus udara. Hal ini menimbulkan adanya perbedaan curah hujan menurut bulan. Di wilayah Kabupaten Buton, musim hujan terjadi di antara bulan Desember sampai bulan April. Pada saat tersebut, angin barat bertiup dari Benua Asia serta Lautan Fasifik banyak mengandung uap air. Musim kemarau terjadi antara bulan Juli dan September, pada bulan tersebut angin timur yang bertiup dari Benua Australia sifatnya kering dan kurang mengandung uap air. Khusus pada Bulan April dan Mei di daerah Kabupaten Buton arah angin tidak menentu, demikian pula dengan curah hujan, sehingga pada bulan ini dikenal sebagai musim pancaroba.

Masalah kependudukan yang dihadapi Kabupaten Buton selain jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, kepadatan dan arus urbanisasi yang memberikan dampak sosial ekonomi juga angka kelahiran yang cukup tinggi.

  1. Analisis Univariate

Penelitian ini telah dilaksanakan sejak 16 Juli – 20 Agustus 2019 di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dengan jumlah sampel Balita stunting 73 anak. Adapun pengolahan dan analisis data disajikan hasil penelitian sebagai berikut :

  1. Status Stunting

Penentuan stunting didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Distribusi sampel berdasarkan status stunting pada balita di Kabupaten Buton disajikan pada tabel 1:

Tabel 1.

Distribusi Sampel Berdasarkan Status Stunting Pada Balita Di Kabupaten Buton

Status Stunting

n

%

Pendek

68

93.2

Sangat Pendek

5

6.8

Total

73

100

Sumber : Data Primer, 2019

Pada tabel 1 tersebut, didapatkan bahwa balita dengan status gizi pendek sebanyak 68 orang (93.2%), sedangkan balita denga status gizinya sangat pendek sebanyak 5 orang (6.8%).

  1. Pola Makan

Pola makan pada makanan pokok adalah karakteristik dari kegiatan konsumsi makan yang dilakukan berulang kali oleh individu atau setiap orang dalam memenuhi kebutuhan makanan dan termasuk makanan yang harus dikonsumsi (Sulistyoningsih, 2011). Selanjutnya distribusi sampel berdasarkan pola makan pada balita di Kabupaten Buton tersaji pada tabel 2:

Tabel 2

Distribusi Sampel Berdasarkan Pola Makan Pada Balita Di Kabupaten Buton

Pola Makan

n

%

Kurang

70

95.9

Cukup

3

4.1

Total

73

100

Sumber : Data Primer, 2019

Berdasarkan tabel 2 tersebut, didapatkan bahwa balita dengan pola makan kategori kurang sebanyak 70 orang (95.9%), sedangkan balita yang pola makan kategori cukup sebanyak 3 orang (4.1%).

  1. Tinggi Badan Ibu

Pengukuran tinggi badan merupakan bagian dari penentuan status gizi secara antropometri untuk menggambarkan pertumbuhan skeletal dari telapak kaki sampai pada ujung kepala. Distribusi sampel berdasarkan tinggi badan ibu balita di Kabupaten Buton disajikan pada tabel 3 berikut ini:

Tabel 3

Distribusi Sampel Berdasarkan Tinggi Badan Ibu Balita Di Kabupaten Buton

Tinggi Badan Ibu

n

%

Normal

7

9.6

Pendek

66

90.4

Total

73

100.0

Sumber : Data Primer, 2019

Pada tabel 3, diperoleh bahwa Ibu balita yang memiliki tinggi badan normal sebanyak 7 orang (9.6%), sedangkan Ibu balita yang pendek sebanyak 66 orang (90.4%).

  1. Riwayat Penyakit Infeksi

Penyakit Infeksi menggambarkan kumpulan jenis penyakit yang dengan mudah menyerang anak sebagai penyebab adanya infeksi virus, bakteri dan parasit (Rampengan dan Laurentz, 1997). Distribusi sampel berdasarkan riwayat penyakit infeksi pada balita di Kabupaten Buton disajikan pada tabel 4 berikut ini:

Tabel 4

Distribusi Sampel Berdasarkan Riwayat Penyakit Infeksi Pada Balita Di Kabupaten Buton

Riwayat Penyakit Infeksi

n

%

Ada

68

93.2

Tidak ada

5

6.8

Total

73

100

Sumber : Data Primer, 2019

Dari tabel 4 tersebut, dapat memberikan gambaran bahwa balita yang memiliki riwayat penyakit infeksi sebanyak 68 orang (93.2%) sedangkan yang tidak ada sebanyak 5 orang (6.8%).

  1. Analisis Bivariate

  1. Analisis Korelasi antara Pola Makan dengan Status Stunting

Tabel 5

Analisis korelasi antara Pola Makan dengan Status Stunting pada Balita di Kabupaten Buton

Pola Makan

Status Stunting

Jumlah

P

C

Pendek

Sangat Pendek

n

%

n

%

n

%

Kurang

68

93.2%

2

2.7%

70

95.9%

0.607

Cukup

0

0%

3

4.1%

3

4.1%

0.000

Jumlah

68

93.2%

5

6.8%

73

100%

Sumber : Data Primer, 2019

Pada tabel 5, menggambarkan bahwa dari 73 sampel, yang memiliki pola makan kurang dengan status pendek sebanyak 68 sampel (93.2%) dan status sangat pendek sebanyak 2 sampel (2.7%). Sedangkan pola makan cukup dengan status sangat pendek sebanyak 3 sampel (4.1%).­

Uji statistik menggunakan uji Fisher Exact, diperolah nilai p sebesar 0.000 lebih kecil dari alpha (p<0.05). Sedangkan nilai Coefficient Contingency sebesar 0.607, ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara pola makan dengan status stunting di Kabupaten Buton dengan keeratan hubungan adalah kuat dan arah hubungannya adalah positif atau searah.

  1. Analisis Korelasi antara Tinggi Badan Ibu dengan Status Stunting

Tabel 6

Analisis korelasi antara Tinggi Badan Ibu dengan Status Stunting pada Balita di Kabupaten Buton

Tinggi Badan Ibu

Status Stunting

Jumlah

P

C

Pendek

Sangat Pendek

n

%

N

%

N

%

Normal

2

2.7%

5

6.9%

7

9.6%

0.000

0.604

Pendek

66

90.4%

0

0%

66

90.4%

Jumlah

68

93.1%

5

6.9%

73

100%

Sumber : Data Primer, 2019

Pada tabel 6 ini menggambarkan bahwa dari 73 balita, Ibu dengan kategori tinggi badan normal yang mempunyai balita dengan status pendek sebanyak 2 orang (2.7%) dan Ibu dengan tinggi badan normal yang mempunyai balita dengan status sangat pendek sebanyak 5 sampel (6.9%), sedangkan Ibu dengan Tinggi badan Pendek dan Balita dengan status pendek sebanyak 66 sampel (90.4%).

Uji statistik menggunakan uji Fisher Exact, didapatkan bahwa nilai p sebesar 0.000 lebih kecil dari alpha (p<0.05), Adapun dengan nilai Coefficient Contingency 0.640 menunjukan bahwa terdapat hubungan antara kategori tinggi badan Ibu dengan status stunting di Kabupaten Buton dengan keeratan hubungan adalah kuat dan arah hubungannya adalah positif atau searah.

  1. Analisis korelasi antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Status Stunting

Tabel 7

Analisis korelasi antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Status Stunting pada Balita di Kabupaten Buton

Riwayat Penyakit Infeksi

Status Stunting

Jumlah

P

C

Pendek

Sangat Pendek

n

%

n

%

n

%

Ada

68

93.1%

0

0%

68

93.1%

0.707

Tidak Ada

0

0%

5

6.9%

5

6.9%

0.000

Jumlah

68

93.1%

5

6.9%

73

100%

Sumber : Data Primer, 2019

Pada tabel 7 menunjukkan bahwa dari 73 sampel, diketahui yang memiliki riwayat penyakit infeksi dengan status pendek sebesar 68 sampel (93,1%), sedangkan yang tidak ada riwayat penyakit infeksi dengan kategori status sangat pendek sebanyak 5 sampel (6,9%).

Uji statistik menggunakan uji Fisher Exact, diperoleh bahwa nilai p sebesar 0.000 lebih kecil dari alpha (p<0.05) dengan nilai Coefficient Contingency 0.707, hal ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan status stunting di Kabupaten Buton dengan keeratan hubungan adalah kuat dan arah hubungannya adalah positif atau searah.

PEMBAHASAN

  1. Hubungan Pola Makan dengan Status Stunting

Terjadinya status Stunting merupakan konsisi dimana beberapa faktor yang saling interaksi dan terjadi pada masa selam, sebagai contoh kurangnya asupan gizi, anak sering tertular penyakit infeksi dan pada saat dilahirkan terjadi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Tidak tercukupinya zat gizi sejak janin dalam kandungan juga terjadi setelah dilahirkan. Badan Kesehatan Dunia atau WHO, menjabarkan bahwa Stunting sudah terjadi saat bayi dalam kandungan sekitar 20%. Apabila asupan gizi ibu kurang selama hamil, sehingga nutrisi pada janin juga cenderung tidak tercukupi. Kondisi ini berakibat pertumbuhan janin dalam kandungan terhambat sampai janin dilahirkan Ezeh et al., 2021Tarumalesej, AlwyArifin, Palutturi, Birawida, & Abadi, 2020(; ).

Kejadian stunting akan terjadi juga pada anak dibawah usia 2 tahun bila kebutuhan gizi anak tidak adekuat. Banyak hal terjadi disebabkan ASI diberikan tidak eksklusif, ataupun Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang diberikan mengandung zat gizi yang kurang. Salah satu teori yang menyatakan bahwa asupan makanan yang kurang bisa menjadi salah satu penyebab Stunting. Terutama asupan makanan yang mengandung zat gizi seperti zink, zat besi, serta protein pada saat anak berusia balita Tarumalesej et al., 2020().

Kejadian Stunting pada balita salah satu penyebabnya adalah faktor pola makan yang tidak baik. Pola makan yang diterapkan pada keluarga memberikan pengaruh terhadap pemenuhan asupan terutama pada balita. Pola makan keluarga dengan kategori baik maka anak akan lebih mudah terpenuhi kebutuhan gizinya. Sebaliknya adanya pola makan yang kurang, maka akan terjadi penurunan asupan pada balita, dengan demikian balita lebih rentan dan beresiko mengalami gangguan pertumbuhan (Stunting). Olehnya itu dibutuhkan konsumsi makanan yang beragam untuk memudahkan terpenuhi kebutuhan akan zat gizi. Aramico (2013), penelitiannya di Kecamatan Lut Tawar Kabupaten Aceh Tengah mengemukanan bahwa pola makan dengan kategori kurang akan beresiko 6,01 kali lebih besar menyebabkan Stunting dibandingkan pola makan dengan kategori cukup Asrina, Palutturi, & Andayanie, 2018().

Adanya gangguan keadaan sosial ekonomi dimasa lampau merupakan salah satu penyebab Stunting. Pengukuran antropometri untuk mengetahui stunting pada anak dengan Indeks TB/U. Dampak yang terjadi bila terjadi Stunting menyebabkan masalah pertumbuhan, perkembangan motorik terlambat, pertumbuhan mental menjadi terhambat, intelegensi anak menurun, kualitas sumber daya manusia dan produktivitas yang menurun. Anak stunting umur ≥ 2 tahun mempunyai risiko mengalami kesakitan dan tingginya kejadian obesitas. Kondisi ekonomi yang rendah, pola asuh, pola makan, asupan gizi pada waktu yang lama sehingga berakibat tingginya prevalensi stunting pada balita Ezeh et al., 2021().

Berdasarkan hasil penelitian bahwa faktor pola makan merupakan faktor yang mempunyai hubungan erat dengan status stunting pada balita di Kabupaten Buton. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Nabusa, C. Debora (2011), tentang faktor pola makan merupakan salah satu faktor penting yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian stunting. Hasil riset tersebut juga senada dengan hasil penelitian dari Aramico, B., Sudargo, T., dan Susilo, J (2013). Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara pola makan dengan kejadian stunting0Mochtar & Ali, 2021().

Pola makan yang beragam sesuai kebutuhan tubuh hampir tidak pernah ada di Kabupaten Buton. Bila ada ikan, daging, atau telur, mereka tidak akan memakannya termasuk sayuran. Jadi menu yang sering ditemukan untuk dikonsumsi pada responden adalah hanya nasi dan sayur saja, ataupun hanya nasi dengan ikan saja. jenis sayur yang dikonsumsi pun bergantung pada jenis sayur yang ada di kebun dan pekarangan masyarakat setempat Setiawan et al., 2018().

  1. Hubungan Tinggi Badan Ibu dengan Status Stunting

Uji statistic menunjukkan bahwa kondisi tinggi badan ibu erat hubungannya dengan status stunting (p<0.05) di Kabupaten Buton. menurut penelitian Amin (2014), tinggi badan ibu merupakan salah satu faktor determin timbulnya stunting. Riset ini sejalan dengan riset yang pernah dilakukan oleh Zottarelli (2014), di Mesir. penelitian tersebut menyatakan bahwa ibu yang memiliki tinggi < 150 cm, lebih beresiko memiliki anak stunting bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan > 150 cm Rosmalina, Luciasari, Aditianti, & Ernawati, 2018().

Tinggi badan orang tua berhubungan erat dengan pertumbuhan badan balita. Ibu dengan perawakan pendek merupakan salah satu faktor yang berhubungan erat dengan kejadian stunting pada balita. Riset ini sejalan dengan riset yang lain, yang menyatakan bahwa anak yang lahir dari ibu maupun ayah yang pendek beresiko menjadi stunting. Jika salah satu ataupun keduanya pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan akan terjadi pertumbuhan yang terganggu sehingga menjadi stunting. Akan tetapi, bila kedua Orang Tua dengan kondisi pendek yang diakibatkan zat gizi kutang ataupun karena penyakit terutama penyakit infeksi, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tidak mengalami resiko lainnya Asrina et al., 2018Zacarias Latupeirissa et al., 2020(; ).

Kedua orang tua pendek, tingkat pendidikan rendah dan pendapatan rendah merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian stunting pada Balita. Riset lainya menyatakan hal yang sama bahwa faktor genetik pada ibu yaitu tinggi badan memiliki hubungan yang kuat dengan stunting pada anak balita Hafid & Djabu, 2018Tarumalesej et al., 2020(; ).

Dangour di Kazakhstan dalam risetnya memberikan bukti adanya hubungan yang bermakna antara tinggi badan ibu dengan tinggi badan balita yang dilahirkan. Astari pun berpendapat juga demikian bahwa tinggi badan Orang Tua berkaitan erat dengan pertumbuhan fisik balita. Ibu yang pendek merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting. Selain itu, menurut Hanum bahwa Ibu yang pendek menyebabkan kejadian stunting pada balita menjadi meningkat Laipeny, Palutturi, & Razak, 2020().

  1. Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Status Stunting

Faktor penyebab secara langsung terhadap kurang gizi pada balita adalah makanan yang tidak adekuat dan penyakit infeksi yang dialami oleh balita. Yang lainnya adalah, ketahanan pangan rumah tangga yang rendah, pola asuh anak yang tidak memadai, sanitasi lingkungan yang kurang, serta tidak memadainya pelayanan kesehatan merupakan pokok masalah gizi kurang pada balita Banudi, Santoso, Leksono, Rantesalu, & Palutturi, 2020().

Hasil riset ini didukung oleh pernyataan Schmidt, C. W (2014), yang menguraikan bahwa kualitas sanitasi yang rendah dan kebersihan lingkungan yang kurang dapat memicu terjadinya penyakit saluran pencernaan terganggu sehingga energi yang digunakan untuk pertumbuhan dialihkan dan digunakan untuk perlawanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Semakin sering anak mengalami penyakit infeksi sehingga akan cenderung mengalami masalah gizi, karena energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan beralih fungsi untuk perlawanan tubuh menghadapi penyakit infeksi. Asupan gizi yang adekuat akan memberikan perubahan pada status gizi anak. Semakin tercukupinya asupan gizi maka status gizi akan semakin membaik. hal tersebut menjelaskan bahwa semakin baik asupan gizi maka kejadian stunting akan berkurang Banudi et al., 2021().

Selain Schmidt, Uliyanti, Tamtomo, D.,G., dan Anantanyu, S (2017), melalui hasil riset yang terpublikasi, menyatakan bahwa riwayat penyakit infeksi perupakan salah satu faktor yang memiliki hubungan erat dengan terjadinya stunting. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang terlihat bahwa ada korelasi antara riwayat penyakit infeksi dengan stunting adalah p<0.05 atau dengan nilai dari Coefficient Contingency adalah 0.70 yang artinya ada hubungan di mana kekuatan hubungan antara variabel tersebut adalah kuat dan arah hubungannya adalah positif atau searah, di mana jika variabel y meningkat maka akan diikuti oleh variabel x Desyanti & Nindya, 2017Setiawan et al., 2018(; ).

KESIMPULAN DAN SARAN

  1. Kesimpulan

  1. Ada hubungan pola makan dengan Status Stunting pada Balita usia 6-59 bulan di Kabupaten Buton.
  2. Ada hubungan tinggi badan Ibu dengan Status Stunting pada Balita usia 6-59 bulan di Kabupaten Buton.
  3. Ada hubungan riwayat penyakit infeksi dengan Status Stunting pada Balita usia 6-59 bulan di Kabupaten Buton.
  1. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut

  1. Perlunya pemberian imunisasi lengkap bagi Balita guna mencegah penularan penyakit.
  2. Perlunya keaktifan kader dan petugas gizi di Puskesmas dalam memberikan konseling gizi bagi orangtua.
  3. Perlunya peran serta seluruh elemen masyarakat dan lembaga pemerintah dalam penanganan dan pencegahan stunting.

DAFTAR PUSTAKA

Asrina, A., Palutturi, S., & Andayanie, E. (2018). Culture and health behavior of buton society of Baubau City, Southeast Sulawesi. Indian Journal of Public Health Research & Development, 9(9), 315-318. Banudi, L. (2019). Gizi Kesehatan Reproduksi: Buku Saku Bidan. Jakarta: EGC.Banudi, L., Koro, S., Anasiru, M. A., & Nurmiaty, N. (2021). The Effect of the Provision of Bagea Enriched with Sea Urchin Gonads on Weight Gain in Toddlers of the Bajo Ethnic. Indonesian Journal of Public Health Nutrition, 2(1). Banudi, L., Santoso, B., Leksono, P., Rantesalu, M., & Palutturi, S. (2020). The Development of Early Detection Tool for Stunting Prediction. Medico Legal Update, 20(4), 1285-1291. Desyanti, C., & Nindya, T. S. (2017). Hubungan riwayat penyakit diare dan praktik higiene dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Simolawang, Surabaya. Amerta Nutrition, 1(3), 243-251. Ezeh, O. K., Abir, T., Zainol, N. R., Al Mamun, A., Milton, A. H., Haque, M., & Agho, K. E. (2021). Trends of Stunting Prevalence and Its Associated Factors among Nigerian Children Aged 0–59 Months Residing in the Northern Nigeria, 2008–2018. Nutrients, 13(12), 4312. Hafid, F., & Djabu, U. (2018). Efek Program SBABS Terhadap Pencegahan Stunting Anak Baduta di Kabupaten Banggai dan Sigi. Indonesian Journal of Human Nutrition, 4(2), 79-87. Laipeny, V. A., Palutturi, S., & Razak, A. (2020). Analysis of Maternal Referral System in Wulur Public Health Center Working Area in Damer Sub-District of Southwest Maluku Regency (Qualitative Study). Medico Legal Update, 20(4), 2205-2212. Mentari, S., & Hermansyah, A. (2019). Faktor-faktor yang berhubungan dengan status stunting anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja UPK puskesmas Siantan Hulu. Pontianak Nutrition Journal (PNJ), 1(1), 1-5. Mochtar, N., & Ali, N. M. (2021). HUBUNGAN POLA MAKAN, RIWAYAT PENYAKIT INFEKSI, TINGGI BADAN ORANG TUA DAN SUMBER AIR MINUM DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA 24--59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALUMPANG, KOTA TERNATE. Hospital Majapahit (JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO), 13(1), 11-20. Nadiyah, N., Briawan, D., & Martianto, D. (2014). Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 0—23 Bulan Di Provinsi Bali, Jawa Barat, Dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal gizi dan pangan, 9(2). Rosmalina, Y., Luciasari, E., Aditianti, A., & Ernawati, F. (2018). Upaya pencegahan dan penanggulangan batita stunting: systematic review. Gizi Indonesia, 41(1), 1-14. Setiawan, E., Machmud, R., & Masrul, M. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2), 275-284. Supariasa, I., Fajar, I., & Bakri, B. (2001). Penilaian status gizi: EGC.Tarumalesej, L. A., AlwyArifin, M., Palutturi, S., Birawida, A., & Abadi, M. Y. (2020). The Influence of Public Health Center Management on the Quality Public Health Center Services in Ambon City. Medico Legal Update, 20(4), 2213-2219. Zacarias Latupeirissa, I., Razak, A., Arifin, M. A., Zulkifli, A., Abadi, M. Y., & Mallongi, A. (2020). Analysis Risk Factors of Stunting Incidence on Toddlers in the Working Area of Porto Haria Public Health Center. Medico Legal Update, 20(4), 1169-1174.